Rabu, 14 Januari 2009


Mengapa Miras dan Nafza Haram Cetak E-mail

“Islam melarang minum-minuman keras, berjudi, riba, dan segala bentuk kejahatan”.

Tidak salah apabila kaum Muslim dilarang “me­ngonsumsi” barang terlarang ini. Sebab selain sifat adiktifnya, pengaruhnya pun sangat berbahaya bagi ke­sehatan maupun kesadaran penikmatnya. Tidak sedikit kasusnya, seperti; pemerkosaan, perkelahian dan pembunuhan terjadi akibat pengaruh minuman beralkohol. Dalam beberapa kali tayangan televisi misalnya, pernah terjadi perkelahian antar kelompok pemuda di pulau Ambon, gara-gara menenggak minuman keras.

Kebiasaan “mabuk” juga telah me­muncul­kan kasus penganiayaan anak terhadap orang tuanya sendiri. Dalam sebuah acara televisi bertajuk “Nuansa Pagi”, yang disiarkan salah satu media televisi, edisi 11 Januari 2008” dilaporkan seorang anak telah menganiaya ayahnya. Tindakan nekat ini dilakukan karena tidak senang dengan kebiasaan mabuk-mabukan sang ayah. Contoh “sangat buruk” yang di­per­lihatkan orang tua ini telah membawa petaka di dalam sebuah ke­luarga, dan juga menyebabkan disfungsi keluarga. Sebab itu, tidak salah di dalam sebuah hadist disebutkan: “Islam melarang minum-minuman keras, berjudi, riba, dan segala bentuk kejahatan”.

Pengaruh negatif alkohol
Dalam sejumlah penelitian, alkohol memiliki kaitan yang erat dengan kanker. Ini didasari pada ke­nyata­an bahwa alkohol meningkatkan kadar estrogen. Bagi wanita khususnya, alkohol dapat mening­katkan risiko terkena kanker payudara. Semakin banyak minum mi­numan ber­alkohol, semakin tinggi pula risiko terkena kan­ker payu­dara, demikian pendapat seorang spe­sialis bedah onkologi, Dr. Sutjipto Sp.B.Onk. Alkohol bekerja dengan meningkatkan kadar darah di dalam insulin darah seperti estrogen. Teori ini telah dilakukan melalui sebuah studi physiologis yang telah melibatkan beberapa wanita dalam penga­matannya. Penggunaan alkohol secara berlebihan juga akan ber­akibat lemak menumpuk di hati, yang kemudian ber­kembang menjadi hepatitis kronis dan menyebabkan sirosis (ter­jadinya jaringan parut dan kerusakan sel hati). Ihwal sirosis akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

Racun alkohol juga telah menyebabkan kematian, kasusnya menimpa tujuh warga Kecamatan Ujung Gading, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Sementara puluhan korban lainnya masih dirawat di rumah sakit Pasaman Barat dan Padang. Sementara itu, belum lama terjadi 12 orang meninggal dunia akibat menenggak minuman keras di Indramayu, Jawa Barat. Kasusnya nyaris sama dengan yang di Sumatera Barat.

Merebaknya konsumsi “miras” di wilayah Yogya­karta seiring dengan ditemukannya peredaran dan pe­malsuan produk-produk minumen keras bermerek Vodka dan Mansion. Menurut pembuatnya, kedua minuman yang dibuat dari campuran alkohol dan air mentah ini di­pasok ke kafe dan tempat-tempat hiburan di Yogyakarta.
Berdasarkan data Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, antara 2004-2006 kasus miras meningkat rata-rata 51 kasus per tahun. Dan setiap bulan mulai Januari - Mei 2007, rata-rata terungkap tiga hingga empat kasus.

Mengapa ketagihan Nafza
Selain miras, penyalahgunaan obat-obatan ter­larang juga semakin menggila di masyarakat. Jika Anda sering menyaksikan tayangan berita-berita kriminal pada siang hari, hampir setiap hari ditemukan kasus serupa. Lalu bagaimana menurut para ahli ihwal ter­jadinya proses “ke­tergantungan” pada barang haram ini.
Ketergantungan atau ketagihan terhadap Nafza, ter­utama narko­tika, seperti putauw, heroin, dan morfin, umum­nya timbul karena terjadi reaksi yang me­nyakit­kan tubuh bersama suasana hati yang tidak nyaman atau dis­foria, bila pemakaiannya dihentikan atau dikurangi atau tidak ditambah dosisnya. Bila seseorang menyalah­gunakan narkotika (artinya di luar sepenge­tahuan dokter untuk keperluan pengobatan seperti pem­biusan atau terapi nyeri) maka cepat atau lambat akan terjadi pe­rubahan reaksi sel saraf khusus di otak (reseptor opioid).

Semakin tinggi dosis narkotika yang dipakai atau semakin lama ketergantungan dengan zat tersebut, maka semakin luas perubahan reseptor opioid yang akan bere­aksi pada saat terjadi gejela putus zat (sakau). Sebab itu, gang­guan fisik pada saat putus zat akan berpengaruh secara langsung pada berat ringannya tingkat ketagihan nar­kotika, demikian kata DR. Rinaldi Nizar, SP.AN (K).

Ketergantungan fisik dengan narkotika sebenarnya merupakan suatu proses yang alami bila kita memakai­nya dalam dosis besar dan berjangka lama. Ini terjadi karena adaptasi dan toleransi terhadap perangsangan itu sendiri sehingga memberi konsekuensi tertentu saat tidak ada rangsangan.
Spesialis Anestesi dari Jakarta ini meng­umpama­kan kebiasaan kita makan yang pedas-pedas, jika tiba-tiba kita mengonsumsi makanan yang tidak pedas, maka makanan itu terasa hambar dan tidak enak. Sebab itu, kita cenderung men­cari cabe atau lada.

Proses ketergantungan atau ketagihan narkotika tidak terjadi sekejap, namun umumnya melalui tahap-tahap setelah mencoba dan menikmatinya, yaitu pe­makaian saat rekreasi atau akhir pekan dan pemakaian situasional (saat depresi atau stres). Psikiater terkenal, Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, MD. PhD., juga mengatakan hal yang sama. Dengan coba-coba inilah, mereka mulai membiasa­kan diri dengan benda haram itu dan akibatnya akan fatal. Sekali mencoba, bukan mustahil, akan terus mencoba dan men­coba hingga kemudian menjadi pecandu. “Akhirnya mereka tidak bisa mengontrol diri sendiri dan narkotikalah yang mengontrol cara pikir mereka.” demikian kata Dadang Hawari.

“Pengaruh terhadap susunan saraf pusat dan otak inilah yang kurang disadari pecandu. Akibatnya fatal. Pikiran, perasaan dan perilaku menjadi terganggu, “ Sebab itu, tidak heran jika pemakai “narkoba” sering bertindak asosial dan kasar, serta tidak meng­indah­kan tata krama maupun kaidah agama. Katanya lagi, “Walau efek narkotika atau psikotropika berbeda, umum­nya ada satu efek yang sama dan menjadi tujuan pe­makai, yaitu efek euphoria (eforia). Suatu kenikmatan yang terdiri dari rasa senang yang intensitasnya lebih tinggi dibandingkan ke­senangan biasa.”

Selain itu, terdapat juga efek-efek lain seperti ke­adaan segar, lincah, aktif, tenang, santai atau mengantuk yang terlihat pada pemakai obat yang bersifat menekan susunan saraf pusat. Nafza memengaruhi pusat peng­hayatan kenikmatan otak sebagaimana kenikmatan sen­sasi, makan, dan stimulasi seksual. Semakin luas Nafza memengaruhi pusat-pusat peng­hayatan kenikmatan seseorang, semakin kuat pula potensi ketergantungan yang akan ditimbulkan. Juga dapat me­nimbulkan ketergantungan psikologis maupun fisik, terutama bila pemakainya telah mencapai taraf ke­tergantung­an.

Jika tidak men­dapatkan Nafza yang di­kehen­dakinya, maka timbul keadaan lepas zat (with­drawal­­state) yang gejalanya terdiri dari gejala fisik dan psikologis, yang disebut dengan istilah “sakauw” atau (sakit karena putao), dan down. Pemakai Nafza juga berpotensi terkena depresi, cemas, takut, dan curiga. Bahkan sebagian pe­candu me­mikirkan untuk menghabisi nyawanya sendiri agar tidak menderita lagi.

Pemakaian Nafza membuat hati dan ginjal bekerja lebih keras, dan pada akhirnya menjadi rusak. Ginjal dan hati yang sedianya bekerja menetralkan racun dari tubuh dan jantung melemah karena pengaruh racunnya. Lebih parah lagi, jika seseorang menggunakan crystal meth, salah satu “drug” yang memiliki efek candu lebih kuat dibanding kombinasi kokain dan heroin. Crystal meth merupakan obat paling berbahaya yang telah me­nyebar dari Iowa (salah satu negara bagian di Amerika), ke daratan Eropa. Hanya sekitar 6% pengguna­nya yang benar-benar mampu berhenti total. Meth secara umum menstimulasi bagian dari otak yang memproduksi dopa­mine, yang membuat Anda mampu merasakan ke­senangan. Meth meng­gandakan sebanyak 12 kali pro­duk­si dopamine dan me­rusak bagian otak. Hingga pada akhir­nya, otak pecandunya tidak akan bisa mem­produksi dopamine “tanpa meth” dan sudah barang tentu tidak ada lagi kenikmatan!

Peredaran meth di negara bagian ini berhubungan langsung dengan produksi jagung. Ya, jagung merupakan tanaman yang banyak ditanam di Iowa. Hampir 80% petaninya menggunakan Anhydrous ammonia. Lalu bahan untuk menyuburkan tanah ini “disalahgunakan” sebagai bahan utama untuk pembuatan meth. Maka tidak heran, jika di wilayah yang sebagian besar kotanya dikelilingi kebun jagung ini, orang dengan mudah dapat memproduksi meth. Selain bahan bakunya mudah di­dapat, proses pembuatannya pun cukup sederhana.

Berikut adalah pengakuan Larry, salah seorang pemakai dan pembuat meth kelas kakap kepada wartawan Maxim: “Aku tak bisa berhenti jika sedang bersama meth, jika aku ingin melakukan sesuatu, pasti akan aku lakukan. Jika tak ada yang mau bekerjasama, maka aku akan tetap mengusaha­kannya. Jika harus melakukan ke­kerasan, maka itu harus dilakukan. Meth benar-benar menguasai pikiran­mu. Setelah itu, kamu bukanlah diri­mu lagi.”

Larry yang lahir dan besar di Centerville ini, mulai mengonsumsi meth pada 1994. Lain halnya dengan Dough Fetters, lelaki yang tak kapok keluar masuk penjara ini berterus terang: “Meth adalah hal yang amat buruk, sama­sekali tidak baik, dan melukai semua orang. Sedangkan maraknya penggunaan cannabis sativus atau “ganja”, menurut sebuah penelitian berhubungan erat dengan penurunan kemampuan reproduksi seorang pria. Bukti baru tersebut adalah hasil riset para dokter di New York tentang tumbuhan yang mengandung tetra­kana­binol ini. Mereka melakukan penelitian pada sperma 22 laki-laki yang dalam satu minggu mengon­sumsi ganja. Hasilnya, sperma tersebut berpotensi kehilangan keaktifan gerakan yang sangat diperlukan untuk proses reproduksi. Ganja dengan helai daun yang selalu ganjil ini memiliki zat psikoaktif dengan efek halusinasi.

Perlu berobat dan bertobat
Diperlukan upaya sungguh-sungguh, baik dari pe­makai maupun keluarganya untuk meng­hilang­kan ke­canduan. Terapi yang diberikan harus bersifat holis­tik yang meliputi terapi medik, psikiat­rik/psikologik dan pen­dampingan agama. “Berobat” ber­arti mem­bersih­kan diri dari Nafza, sedangkan “bertobat” meminta pe­ngampun­an Tuhan dan memohon kekuatan iman untuk tidak kembali memakainya, demikian kata Dadang Hawari.

Dalam terapi holistik, pecandu menjalani de­tok­sifikasi untuk menghilangkan racun Nafza. Metode detok­tifikasi ini, menurut Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini, meng­guna­kan sistem blok total (abstinentia totalis), dimana pasien tidak boleh lagi meng­gunakan Nafza atau turunan sintesa­nya. Detoksifikasi dilakukan untuk membersihkan racun dari tubuh seorang pecandu narkoba. Jika tidak, bagai­mana mau bisa hidup sehat, padahal banyak racun telah mengendap di dalam tubuh. Sehingga menyebabkan berbagai masalah seperti; iritasi, peradangan pada jaringan, dan menurunnya fungsi normal setiap organ tubuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar